Jumat, 30 November 2012

makalah perkembangan moral, nilai dan agama remaja



A.    PERKEMBANGAN MORAL PADA MASA REMAJA
1.      Pengertian
Istilah moral berasal dari kata Latin “mos” (moris) yang berarti adat istiadat, kebiasaan, peraturan/nilai-nilai atau tata cara kehidupan. Sedangkan moralitas merupakan kemauan untuk menerima dan melakukan peraturan, nilai-nilai atau prinsip-prinsip moral.
Nilai-nilai moral itu, seperti seruan untuk berbuat baik kepada orang lain, memelihara ketertiban dan keamanan, memelihara kebersihan, dan memelihara hak orang lain, serta larangan mencuri, berzina, membunuh, meminum minuman keras dan berjudi.
Seseorang dapat dikatakan bermoral, apabila tingkah laku orang tersebut sesuai dengan nilai-nilai moral yang dijunjung tinggi oleh kelompok sosialnya.
2.      Faktor-faktor Yang Mempengaruhi
Perkembangan moral seorang anak banyak dipengaruhi oleh lingkungannya. Anak memperoleh nilai-nilai moral dari lingkungannya, terutama dari orangtuanya. Dia belajar untuk mengenal nlai-nilai dan berperilaku sesuai dengan nilai-nilai tersebut. Dalam mengembangkan nilai moral anak, peranan orangtua sangatlah penting, terutama pada waktu anak masih kecil. Menurut Adamm dan Gullotta, terdapat beberapa hasil penelitian yang menunjukkan bahwa orang tua mempengaruhi nilai remaja, yaitu sebagai berikut :
a.     Terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat moral remaja dengan tingkat moral orangtua.
b.     Ibu-ibu remaja yang tidak nakal mempunyai skor yang lebih tinggi dalam tahapan nalar moralnya daripada ibu-ibu yang anaknya nakal, dan remaja yang tidak nakal mempunyai skor lebih tinggi dalam kemampuan nalar moralnya daripada remaja yang nakal.
c.     Terdapat dua faktor yang  dapat meningkatkan perkembangan moral anak atau remaja, yaitu: orangtua yang mendorong anak untuk berdiskusi secara demokratik dan terbuka mengenai berbagai isu, dan orangtua yang menerapkan disiplin terhadap anak dengan teknik berpikir induktif.
Beberapa sikap orangtua yang perlu diperhatikan sehubungan dengan perkembangan moral anak, diantaranya  sebagai berikut :
1.      Konsisten dalam mendidik anak
Ayah dan ibu harus memiliki sikap dan perlakuan yang sama dalam melarang atau membolehkan tingkah laku tertentu kepada anak. Suatu tingkah laku anak yang dilarang oleh orangtua pada suatu waktu, harus juga dilarang apabila dilakukan pada waktu lain.
2.      Sikap orangtua dalam keluarga
Secara tidak langsung, sikap orangtua terhadap anak, sikap ayah terhadap ibu, atau sebaliknya, dapat mempengaruhi perkembangan moral anak, yaitu melalui proses peniruan (imitasi)[3]. Sikap orangtua yang keras (otoriter) cenderung melahirkan sikap disiplin semu pada anak, sedangkan sikap yang acuh tak acuh atau sikap masa bodoh, cenderung mengembangkan sikap kurang bertanggungjawab dan kurang memperdulikan norma pada diri anak. Sikap yang sebaiknya dimiliki oleh orangtua adalah sikap kasih sayang, keterbukaan, musyawarah (dialogis).
3.      Penghayatan dan pengamalan agama yang dianut
Orangtua merupakan panutan (teladan) bagi anak, termasuk disini panutan dalam mengamalkan ajaran agama. Orangtua yang menciptakan iklim yang religious (agamis), dengan cara memberikan ajaran atau bimbingan tentang nilai-nilai agama kepada anak, maka anak akan mengalami perkembangan moral yang baik.
4.      Sikap konsisten orangtua dalam menerapkan norma
Orangtua yang tidak menghendaki anaknya berbohong, atau berlaku tidak jujur, maka mereka harus menjauhkan dirinya dari prilaku berbohong atau tidak jujur. Apabila orangtua mengajarkan kepada anak, agar berprilaku jujur, bertutur kata yang sopan, bertanggungjawab atau taat beragama, tetapi orangtua sendiri menampilkan perilaku sebaliknya, maka anak akan mengalami konflik pada dirinya, dan akan menggunakan ketidakkonsistenan orangtua itu sebagai alas an untuk tidak melakukan apa yang diinginkan orangtuanya, bahkan mungkin dia akan berprilaku seperti orangtuanya.
3.      Karakteristik Perkembangan
Karakteristik yang menonjol dalam perkembangan moral remaja adalah bahwa sesuai dengan tingkat perkembangan kognisi yang mulai mencapai tahapan berfikir operasional formal, yaitu mulai mampu berpikir abstrak dan mampu memecahkan masala-masalah yang bersifat hipotetis maka pemikiran remaja terhadap suatu permasalahan tidak lagi hanya terikat pada waktu, tempat, dan situasi, tetapi juga pada sumber moral yang menjadi dasar hidup mereka.
Perkembangan pemikiran moral remaja dicirikan dengan mulai tumbuh kesadaran akan kewajiban mempertahankan kekuasaan dan pranata yang ada karena dianggap sebagai suatu yang bernilai, walau belum mampu mempertanggung jawabkannya secara pribadi. Perkembangan moral remaja yang demikian, jika meminjam teori perkembangan moral dari Kohlberg berarti sudah mencapai tahap konvensioanl. Pada akhir masa remaja seseorang akan memasuki tahap perkembangan pemikiran moral yang disebut tahap pascakonvensional ketika orisinilitas pemikiran moral remaja sudah semakin jelas. Pemikiran moral remaja berkembang sebagai pendirian pribadi yang tidak tergantung lagi pada pendapat atau pranata yang bersifat konvensional.
Remaja diharapkan mengganti konsep-konsep moral yang berlaku umum dan merumuskannya ke dalam kode moral yang akan berfungsi sebagai pedoman bagi perilakunya. Tidak kalah pentingnya, sekarang remaja harus mengendalikan perilakunya sendiri, yang sebelumnya menjadi tanggung jawab orang tua dan guru. Mitchell telah meringkaskan lima perubahan dasar dalam moral yang harus dilakukan oleh remaja yaitu:
a.       Pandangan moral individu makin lama makin menjadi abstrak dan kurang konkret.
b.      Keyakinan moral lebih terpusat pada keyakinan pada apa yang benar dan kuarang pada apa yang salah. Keadilan muncul  sebagai kekuatan moral yang dominan.
c.       Penilaian moral menjadi semakin kognitif. Ini mendorong remaja lebih berani menganalisis kode sosial dan kode pribadi daripada masa kanak-kanak dan berani mengambil keputusan terhadap berbagai masalah moral yang dihadapinya.
d.      Penilaian moral menjadi kurang egosentris.
e.       Penilaian moral secara psikologis menjadi lebih mahal dalam arti bahwa penilaian moral merupakan bahan emosi dan menimbulkan ketegangan psikologis.
Pada masa remaja, laki-laki dan perempuan telah mencapai apa yang oleh Piaget disebut tahap pelaksanaan formal dalam kemampuan kognitif. Sekarang remaja mampu mempertimbangkan semua kemungkinan untuk menyelesaikan suatu masalah dan mempertanggungjawabkannya berdasarkan suatu hipotesis atau proporsi. Jadi ia dapat memandang masalahnya dari berbagai sisi dan menyelesaikannya dengan mengambil banyak faktor sebagai dasar pertimbangan.
Menurut Kohlberg, tahap perkembangan moral ketiga, moral moralitas pascakonvensional harus dicapai selama masa remaja. Tahap ini merupakan tahap menerima sendiri sejumlah prinsip dan terdiri dari dua tahap. Dalam tahap pertama individu yakin bahwa harus ada kelenturan dalam keyakinan moral sehingga dimungkinkan adanya perbaikan dan perubahan standar apabila hal ini menguntungkan anggota-anggota kelompok secara keseluruhan. Dalam tahap kedua individu menyesuaikan dengan standar sosial dan ideal yang di internalisasi lebih untuk menghindari hukuman terhadap diri sendiri daripada sensor sosial. Dalam tahap ini, moralitas didasarkan pada rasa hormat kepada orang-orang lain dan bukan pada keinginan yang bersifat pribadi.
Melalui pengalaman atau berinteraksi sosial dengan orang tua, guru, teman sebaya atau orang dewasa lainnya, tingkat moralitas remaja sudah lebih matang jika dibandingkan dengan usia anak. Mereka sudah lebih mengenal tentang nilai-nilai moral atau konsep-konsep moralitas, seperti kejujuran, keadilan, kesopanan, dan kedisiplinan.
Pada masa ini muncul dorongan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat dinilai baik oleh orang lain. Remaja berprilaku bukan hanya untuk memenuhi kepuasan fisiknya, tetapi psikologis (rasa puas dengan adanya penerimaan dan penilaian positif dari orang lain tentang perbuatannya).
B.     PERKEMBANGAN NILAI PADA MASA REMAJA
1.      Pengertian
Menurut Sutikna, nilai adalah norma-norma yang berlaku dalam masyarakat, misalnya adat kebiasaan dan sopan-santun. Menurut Spranger, nilai merupakan suatu tatanan yang dijadikan panduan oleh individu untuk menimbang dan memilih alternative keputusan dalam situassi sosial tertentu.
Jadi, nilai itu merupakan :
a.       Sesuatu yang diyakini kebenarannya dan mendorong orang untuk mewujudkannya.
b.      Produk sosial yang diterima sebagai milik bersama dengan kelompoknya.
c.       Sebagai standar konseptual yang relative stabil yang membimbing individu dalam menentukan tujuan yang ingin dicapai dalam rangka memenuhi kebutuhan psikologisnya.
Spranger menggolongkan nilai ke dalam enam jenis nilai, yaitu :
1.      Nilai teori atau nilai keilmuan, adalah nilai yang mendasari perbuatan seseorang berdasarkan pertimbangan rasional.
2.      Nilai ekonomi, adalah nilai yang mendasari perbuatan atas dasar pertimbangan untung rugi atau financial.
3.      Nilai sosial atau solidaritas, tidak memperhitungkan laba atau rugi terhadap dirinya yang penting dia dapat melakukannya untuk kepentingan orang lain dan menimbulkan rasa puas pada dirinya.
4.      Nilai agama, atas dasar pertimbangan kepercayaan bahwa sesuatu itu benar menurut agama dan merasa berdosa jika tidak berbuat sesuai yang disyariatkan agama.
5.      Nilai seni, atas dasar pertimbangan  rasa keindahan atau rasa seni yang terlepas dari berbagai pertimbangan material.
6.      Nilai Politik, atas dasar pertimbangan baik-buruknya untuk kepentingan dirinya atau kelompoknya.
Remaja sebagai individu maupun sebagai komunitas masyarakat memiliki nilai-nilai yang dianutnya. Nilai yang dianut remaja tersebut dapat dipengaruhi oleh posisi kehidupan mereka, apakah kehidupan secara modern atau secara tradisional.
Nilai yang dianutnya akan menjadi bagian dari driri remaja (berpengaruh terhadap perilaku remaja tersebut). Nilai-nilai kehidupan yang perlu diinformasikan dan selanjutnya dihayati oleh para remaja tidak terbatas pada adat kebiasaan dan sopan santun saja, namun juga nilai-nilai yang tersebut diatas.
2.      Faktor-faktor Yang Mempengaruhi
Nilai adalah suatu ukuran atau parameter terhadap suatu obyek tertentu Nilai dapat diartikan sebagai ukuran baik atau buruknya sesuatu. Bisa juga diartikan sebagai harga (value) dari sesuatu. Nilai-nilai kehidupan adalah norma-norma yang berlaku dalam masyarakat, misalnya, adat kebiasaan dan sopan santun.
Beberapa faktor yang mempengaruhi perkembangan nilai ada masa remaja diantaranya adalah sebagai berikut :
a.       Diri Sendiri
Setiap orang memiliki ukuran baik atau buruk sesuatu dengan sudut pandang orang tersebut terhadap sesuatu, sehingga jika si A menganggap bersendawa setelah makan itu adalah baik, belum tentu si B menganggap hal tersebut juga prilaku yang baik. Jadi, setiap orang memiliki penilaian tersendiri terhadap sesuatu yang akan diwujudkan dalam tingkah lakunya. Hal ini termasuk dalam sikap normative, yaitu nilai merupakan suatu keharusan yang menuntut diwujudkan dalam tingkah laku. Misalnya: nilai kesopanan dan kesederhanaan, orang yang selalu bersikap sopan akan selalu berusaha menjaga tutr kata dan sikapnya sehingga dapat membedakan tindakan yang baik dan yang buruk. Dengan kata lain, nilai-nilai perlu dikenal terlebih dahulu, kemudian dihayati dan didorong oleh moral, baru kemudian akan terbentuk sikap tertentu terhadap nilai-nilai tersebut. Dalam masa remaja, mereka menganggap diri mereka adalah benar dan apa yang mereka yakini pun adalah benar.
b.      Teman/Orang Terdekat
Pengaruh dari orang lain juga berperan dalam terwujudnya suatu nilai. Teman atau orang terdekat biasanya memiliki suatu paham dan sifat yang hampir sama satu sama lainnya. Dalam pertemanan biasanya mudah untuk saling memahami dan memberikan penanaman suatu paham ke teman lainnya dan orang tersebut akan menganggap suatu paham yang ditanam padanya adalah benar. Ini dikarenakan dalam pertemanan mereka akan saling mempercayai satu sama lainnya. Misalnya: si A berjalan didepan orang yang lebih tua yang sedang duduk tanpa member hormat (membungkuk sedikit), lalu teman terdekatnya yang melihat itu mengatakan bahwa hal tersebut tidak baik untuk dilakukan dan merupakan hal yang tidak sopan. Seharusnya kita melewati orang yang lebih tua, sebaiknya membungkuk sedikit (member hormat kepada yang lebih tua). Sehingga setelah diberikan pemahaman, si A mengerti dan melakukan apa yang dikatakan temannya tersebut. Pada masa remaja, seseorang akan lebih percaya atau memiliki hubungan yang lebih dekat dengan temannya dibandingkan hubungan dengan keluarganya. Mereka lebih sering bersosialisai dengan temannya sehingga penanaman nilai akan mudah terserap dan ditanam pada diri remaja tersebut.
c.       Pergaulan
Pergaulan yang memberikan pengaruh yang baikakan mewujudkan suatu nilai yang baik poula dan sebaliknya. Didalam pergaulan terdapat interaksi nilai yang dianut seseorang. Bisa saja nilai yang dulu dianggap baik dapat berubah menjadi nilai yang buruk setelah interaksi atau penglihatan yang dialaminya dalam pergaulan. Tetapi itu tergantung dari remaja tersebut, apakah ia bertahan terhadap nilai yang telah dianutnya atau akan merubahnya. Di dalam perkembangan, hal ini mungkin saja terjadi. Misalnya menceritakan hal-hal yang buruk/kejelelkan orang lain. Yang dulunya dianggap biasa saja, setelah pergaulan yang membawa nilai positif melalui pembelajaran nilai tersebut berubah menjadi buruk.
Pergaulan pada masa remaja turut menentukan nilai yang dianutnya. Pergaulan menjadi hal yang penting pada masa remaja. Pada saat itu pergaulan menentukan sikap/tingkah laku dari nilai yang dan seseorang. Pergaulan yang baik akan menciptakan nilai yang baik dan sebaliknya. Remaja merupakan masa transisi dari masa kanak-kanak yang sangat rawan dalam penentuan nilai. Ditekankan sekali lagi bahwa pada masa remaja, seseorang lebih sering berinteraksi dengan temannya dalam bentuk pergaulan dibanding dengan keluarganya.
d.      Teknologi
Pengaruh dari kecanggihan teknologi juga memiliki pengaruh kuat terhadap terwujudnya suatu nilai. Di era sekarang, remaja banyak menggunakan teknologi untuk belajar maupun hiburan. Contoh: internet memiliki fasilitas yang menwarkan berbagai informasi yang dapat diakses secara langsung.
Nilai positifnya, ketika remaja atau siswa mencari bahan pelajaran yang mereka butuhkan mereka dapat mengaksesnya dari internet. Namun internet juga memiliki nilai negative seperti tersedianya situs porno yang dapat merusak moral remaja. Apalagi pada masa remaja memiliki rasa keingintahuan yang besar dan sangat rentan terhadap informs seperti itu. Mereka belum bisa mengolah pikiran secara matang yang akhirnya akan menimbulkan berbagai tindak kejahatan seperti pemerkosaan dan hamil di luar nikah/hamil usia dini.
e.       Lingkungan / Masyarakat
Kenyamanan dalam bertempat tinggal memiliki peran yang besar dalam pembentuukan nilai individu. Remaja yang memiliki potensi tersosialisasi baik akan pandai berteman dan memiliki tenggang rasa yang kuat. Hal ini didukung oleh lingkungan yang mendukung pula. Maka akan terwujud nilai kesejaheraan yang baik. Bagi remaja hal ini akan berguna untuk mewujudkan rasa percaya diri dan bersosialisasi yang baik kepada masyarakat.
-          Identifikasi dengan orang-orang yang dianggapnya sebagai model. Maksudnya mengikuti sikap dan prilaku yang dianggapnya sebagai idola.
-          Hubungan anak dengan orangtuanya.
-          Adanya kontrol dari masyarakat yang mempunyai sanksi-sanksi tersendiri buat pelanggar-pelanggarnya.
-          Unsur Lingkungan berbentuk manusia yang langsung dikenal atau dihadapi oleh seseorang sebagai perwujudan dari nilai-nilai tertentu.
-          Aktivitas-aktivitas anak remaja yang diperankannya.

3.      Karakteristik Perkembangan
            Karena masa remaja merupakan masa mencari jati diri, dan berusaha melepaskan diri dari lingkungan orang tua untuk menemukan jati dirinya maka masa remaja menjadi suatu periode yang sangat penting dalam pembentukan nilai. Salah satu karakteristik remaja yang sangat menonjol berkaitan dengan nilai adalah bahwa remaja sudah sangat merasakan pentingnya tata nilai dan mengembangkan nilai-nilai baru yang sangat diperlukan sebagai pedoman, pegangan, atau petunjuk dalam mencari jalannya sendiri untuk menumbuhkan identitas diri menuju kepribadian yang semakin matang. Pembentukan nilai-nilai baru dilakukan dengan cara identifikasi dan imitasi terhadap tokoh atau model tertentu atau bisa saja berusaha mengembangkannya sendiri.
C.    PERKEMBANGAN AGAMA PADA MASA REMAJA
1.      Pengertian
Agama, seperti yang kita temukan dalam kehidupan sehari-hari, terdiri atas suatu sistem tentang keyakinan-keyakinan, sikap-sikap dan praktek-praktek yang kita anut, pada umumnya berpusat sekitar pemujaan.
Dari sudut pandangan individu yang beragama, agama adalah sesuatu yang menjadi urusan terakhir baginya. Artinya bagi kebanyakan orang, agama merupakan jawaban terhadap kehausannya akan kepastian, jaminan, dan keyakinan tempat mereka melekatkan dirinya dan untuk menopang harapan-harapannya.
Dari sudut pandangan sosial, seseorang berusaha melalui agamanya untuk memasuki hubungan-hubungan bermakna dengan orang lain, mencapai komitmen yang ia pegang bersama dengan orang lain dalam ketaatan yang umum terhadapnya.bagi kebanyakan orang, agama merupakan dasar terhadap falsafah hidupnya.
Tingkat keterlibatan remaja dalam organisai keagamaan mungkin lebih penting dari pada sekedar keanggotaan mereka dalam menentukan sikap dan tingkah laku seks pranikah mereka. Remaja yang sering menghadiri ibadat keagamaan dapat mendengarkan pesan-pesan untuk menjauhkan diri dari seks.
Remaja masa kini menaruh minat pada agama dan menganggap bahwa agama berperan penting dalam kehidupan. Minat pada agama antara lain tampak dengan dengan membahas masalah agama, mengikuti pelajaran-pelajaran agama di sekolah dan perguruan tinggi, mengunjungi tempat ibadah dan mengikuti berbagai upacara agama.
2.      Faktor-faktor Yang Mempengaruhi
Dalam perkembangan agamanya, banyak remaja mulai meragukan konsep dan keyakinan akan relligiusnya pada masa kanak-kanak dan oleh karena itu, periode remaja disebut sebagai periode keraguan religius. Namun Wagner berpendpat bahwa apa yang sering ditafsirkan sebagai “keraguan religius” kenyataannya merupakan tanya jawab religius.
Menurut Wagner:
“Banyak remaja menyelidiki agama sebagai suatu sumber suatu rangsangan emosional dan intelektual. Para pemuda ingin mempelajari agama berdasarkan pengertian intelektual dan tidak ingin menerimanya secara begitu saja. Mereka meragukan agama bukan karena ingin menerima agama sebagai sesuatu yang bermakna berdasarkan keinginan mereka untuk mandiri dan bebbas menentukan keputusan-keputusan mereka sendiri”.
Menurut W. Sturbuck, remaja mengalami keraguan tentang:
a.       Ajaran agama yang mereka terima.
b.      Cara penerapan ajaran agama.
c.       Keadaan lembaga-lembaga keagamaan.
d.      Para pemuka agama
Yang disebabkan oleh beberapa faktor, yang diantaranya adalah:
a.       Kepribadian
Tipe kepribadian dan jenis kelamin, bisa menyebabkan remaja melakukan salah tafsir terhadap ajaran agama.
-          Bagi individu yang memiliki kepribadian yang introvert, ketika mereka mendapatkan kegagalan dalam mendapatkan pertolongan Tuhan, maka akan menyebabkan mereka salah tafsir terhadap sifat Maha Pengasih dan Maha Penyayangnya Tuhan.
Misalnya: Ketika berdoa’a tidak terkabul,,maka mereka akan menjadi ragu akan kebenaran sifat Tuhan yang Maha Pengasih dan Penyayang Tuhan tersebut. Kondisi ini akan sangat membekas pada remaja yang introvert walau sebelumnya dia taat beragama.
-          Untuk jenis kelamin
Wanita yang cepat matang akan lebih menunjukkan keraguan pada ajaran agama dibandingkan pada laki-laki cepat matang.
b.      Kesalahan Organisasi Keagamaan dan Pemuka Agama
Kesalahan ini dipicu oleh “dalam kenyataannya,,terdapat banyak organisasi dan aliran-aliran keagamaan”. Dalam pandangan remaja hal itu mengesankan adanya pertentangan dalam ajaran agama. Selain itu remaja juga melihat kenyataan “Tidak tanduk keagamaan para pemuka agama yang tidak sepenuhnya menuruti tuntutan agama”.
c.       Pernyataan Kebutuhan Agama
Pada dasarnya manusia memiliki sifat konservatif (senang dengan yang sudah ada), namun disisi lain,,manusia juga memiliki dorongan curiosity (dorongan ingin tahu).
Kedua sifat bawaan ini merupakan kenyataan dari kebutuhan manusia yang normal. Apa yang menyebabkan pernyataan kebutuhan manusia itu berkaitan dengan munculnya keraguan pada ajaran agama?
Dengan dorongan Curiosity, maka remaja akan terdorong untuk mempelajari/mengkaji ajaran agamanya. Jika dalam pengkajian itu terdapat perbedaan-perbedaan atau terdapat ketidaksejalanan dengan apa yang telah dimilikinya (konservatif) maka akan menimbulkan keraguan.
d.      Kebiasaan
Remaja yang sudah terbiasa dengan suatu tradisi keagamaan yang dianutnya akan ragu untuk menerima kebenaran ajaran lain yang baru diterimanya/dilihatnya.
Kebiasaan mengaji untuk menanamkan nilai-nilai agama
e.       Pendidikan
Kondisi ini terjadi pada remaja yang terpelajar. Remaja yang terpelajar akan lebih kritis terhadap ajaran agamanya. Terutama yang banyak mengandung ajaran yang bersifat dogmatis. Apalagi jika mereka memiliki kemampuan untuk menafsirkan ajaran agama yang dianutnya secara lebih rasional.
f.       Percampuran Antara Agama dengan Mistik
Dalam kenyataan yang ada ditengah-tengah masyarakat, kadang-kadang tanpa disadari ada tindak keagamaan yang mereka lakukan ditopangi oleh mistik dan praktek kebatinan. Penyatuan unsur ini menyebabkan remaja menjadi ragu untuk menentukan antara unsur agama dengan mistik.
Penyebab keraguan remaja dalam bidang agama yang dikemukakan oleh Starbuck diatas, adalah penyebab keraguan yang bersifat umum bukan yang bersifat individual. Keraguan remaja pada agama bisa juga terjadi secara individual. Keraguan yang bersifat individual ini disebabkan oleh:
a. Kepercayaan, yaitu: Keraguan yang menyangkut masalah ke-Tuhanan dan implikasinya. Keraguan seperti ini berpeluang pada remaja agama Kristen, yaitu: tentang ke-Tuhanan yang Trinitas.
b. Tempat Suci, yaitu: keraguan yang menyangkut masalah pemuliaan dan pengaguman tempat-tempat suci.
c. Alat Perlengkapan Agama, misalnya: fungsi salib pada ajaran agama kristen
d. Fungsi dan Tugas dalam Lembaga Keagamaan, misalnya: fungsi pendeta sebagai penghapus dosa
e. Pemuka agama, biarawan dan biarawati
f. Perbedaan aliran dalam keagamaan
Keraguan yang dialami remaja dalam bidang agama dapat memicu konflik dalam diri remaja. Bentuk dari konflik itu “Remaja akan dihadapkan kepada pemilihan antara mana yang baik dan yang buruk serta antara yang benar dan salah”. Jenis konflik yang memungkinkan dialami remaja, antara lain adalah:
a.       Konflik yang terjadi antara percaya dan ragu.
b.      Konflik yang terjadi antara pemilihan satu diantara dua macam agama atau antara dua ide keagamaan atau antara dua lembaga keagamaan.
c.       Konflik yang terjadi oleh pemilihan antara ketaatan beragama atau sekuler.
d.      Konflik yang terjadi antara melepaskan kebiasaan masa lalu dengan kehidupan keagamaan yang didasarkan atas petunjuk Ilahi. Jadi, sedikit dapat disimpulkan:
-          Tingkat keyakinan dan ketaatan remaja pada agama sangat dipengaruhi oleh kemampuan mereka dalam menyelesaikan keraguan dan konflik batin yang terjadi dalam dirinya.
-          Dalam upaya mengatasi konflik batin, para remaja cenderung untuk bergabung dalam peer groups-nya dalam rangka berbagi rasa dan pengalaman. Kondisi inipun akan mempengaruhi keyakinan dan ketaatan remaja pada agama.
Faktor lain yang mempengaruhi adalah adanya motivasi dari dalam diri remaja itu sendiri. Motivasi beragama adalah: Usaha yang ada dalam diri manusia yang mendorongnya untuk berbuat sesuatu tindak keagamaan dengan tujuan tertentu atau usaha yang menyebabkan seseorang beragama.
3.      Karakteristik Perkembangan
Perubahan dalam minat religius selama masa remaja lebih radikal daripada perubahan dalam minat akan pekerjaan. Seperti halnya minat pekerjaan masa kanak-kanak, konsep masa kanak-kanak tentang agama pada dasarnya tidak realistik, dan remaja menjadi kritis terhadap keyakinannya di masa lampau. Pola perubahan dalam minat religius dan akibatnya pada prilaku diuraikan sebagai berikut:
a.       Periode kesadaran religius
Pada saat remaja mempersiapkan diri untuk menjadi anggota gereja yang dianut orang tua, minat religiusnya meninggi. Sebagai akibat dari meningkatnya minat ini, ia mungkin menjadi bersemangat mengenal agama smapai-sampai ia mempunyai keinginan untuk menyerahkan kehidupan untuk agama malah meragukan keyakainan yang diterima mentah-mentah selama masa kanak-kanak. Seringkali remaja membandingkan keyakinnanya dengan keyakinan teman-temannya, atau menganalisisnya secara kriitis sesuai denagn meningktanya pengetahuan remaja.
b.      Periode keraguan religius
Berdasarkan penelitian secara kritis terhadap keyakinan masa kanak-kanak, remaja sering bersikap skeptis pada berbagai bentuk religius, seperti berdo’a dan upacara-upacara gereja yang formal, dan kemudian mulai meragukan isi religius, seperti ajaran menegenai sifat  Tuhan dan kehidupan setelah mati. Bagi beberapa remaja keraguan ini dapat membuat mereka kurang taat pada agama, sedangkan remaja yang lain berusaha untuk mencari kepercayaan lain yang dapat lebih memenuhi kebutuhan daripada kepercayaan yang dianut keluarganya.
c.       Periode rekonstuksi agama
Lambat atau cepat, remaja membutuhkan keyakinan agama meskipun ternyata keyakinan pada masa kanak-kanak tidak lagi memuaskan. Bila hal ini terjadi, ia mencari kepercayaan pada salah satu kultus agama baru. Kultus ini selalu muncul diberbagai negara  dan mempunyai daya tarik yang kuat bagi remaja dan pemuda yang karang mempunyai ikatan religius . Pemuda biasanya merupakan mangsa bagi setiap kultus yang berbeda atau baru.
Menurut Wagner, banyak remaja menyelidiki agama sebagai suatu sumber dari rangsangan emosial dan intelektual. Para pemuda ingin mempelajari agama berdasarkan pengertian intelektual dan tidak ingin menerimanya secara begitu saja. Mereka meragukan agama bukan karena ingin manjadi agnostik atau atheis, melainkan karena ingin menerima agama sebagai sesuatu yang bermakna berdasarkan keinginan mereka untuk mandiri dan bebas menentukan keputusan-keputusan mereka sendiri. Perkembangan pemahaman remaja terhadap keyakinan agama ini sangat dipengaruhi oleh perkembangan kognitifnya.
Oleh karena itu meskipun pada masa awal anak-anak ia telah diajarkan agama oleh orang tua mereka, namun karena pada masa remaja mereka mengalami kemajuann dalam perkembangan kognitif, mereka mungkin mempertanyakan tentang kebenaran keyakinan agama mereka sendiri. Sehubungan dengan pengaruh perekembangan kognitif terhadap perkembangan agama selama masa remaja ini.
Bab III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Dalam perkembangan moral seorang remaja, banyak dipengaruhi oleh lingkungannya. Remaja memperoleh nilai-nilai moral dari lingkungannya, terutama dari orangtuanya. Dia belajar untuk mengenal nlai-nilai dan berperilaku sesuai dengan nilai-nilai tersebut.
Karakteristik yang menonjol dalam perkembangan moral remaja adalah bahwa sesuai dengan tingkat perkembangan kognisi yang mulai mencapai tahapan berfikir operasional formal, yaitu mulai mampu berpikir abstrak dan mampu memecahkan masala-masalah yang bersifat hipotetis maka pemikiran remaja terhadap suatu permasalahan tidak lagi hanya terikat pada waktu, tempat, dan situasi, tetapi juga pada sumber moral yang menjadi dasar hidup mereka.
Selanjutnya dalam perkembangan nilai, remaja sebagai individu maupun sebagai komunitas masyarakat memiliki nilai-nilai yang dianutnya. Nilai yang dianut remaja tersebut dapat dipengaruhi oleh posisi kehidupan mereka, apakah kehidupan secara modern atau secara tradisional. Nilai yang dianutnya akan berpengaruh terhadap perilaku remaja itu sendiri.
Beberapa faktor yang mempengaruhi perkembangan nilai ada masa remaja adalah seperti diri sendiri, teman/orang terdekat, pergaulan, teknologi dan lingkungan / masyarakat. Salah satu karakteristik remaja yang sangat menonjol berkaitan dengan nilai adalah bahwa remaja sudah sangat merasakan pentingnya tata nilai dan mengembangkan nilai-nilai baru yang sangat diperlukan sebagai pedoman, pegangan, atau petunjuk dalam mencari jalannya sendiri untuk menumbuhkan identitas diri menuju kepribadian yang semakin matang.
Dari segi perkembangan agama, Remaja masa kini menaruh minat pada agama dan menganggap bahwa agama berperan penting dalam kehidupan. Minat pada agama antara lain tampak dengan dengan membahas masalah agama, mengikuti pelajaran-pelajaran agama di sekolah dan perguruan tinggi, mengunjungi tempat ibadah dan mengikuti berbagai upacara agama.
Dalam perkembangannya, banyak remaja mulai meragukan konsep dan keyakinan akan relligiusnya pada masa kanak-kanak dan oleh karena itu, periode remaja disebut sebagai periode keraguan religius. Namun Wagner berpendpat bahwa apa yang sering ditafsirkan sebagai “keraguan religius” kenyataannya merupakan tanya jawab religius.
B.     Saran
Dalam makalah ini, kami menyadari masih banyak kekurangan. Dengan ini kami meminta  dan mengharapkan kritik dan saran dari Ibu Meri Fatrianingsih, S.Psi dan teman-teman sekalian. Dan akhir kata dari kelompok 3 mengucapkan banyak terima kasih.











Daftar Pustaka
Agustiani, Hendriati, Psikologi Perkembangan, Bandung: PT Refika Aditama, 2009
Diana E. Papalia, et.Al, Human Development (Psikologi Perkembangan), Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008
Hurlock, Elizabeth B, Psikologi Perkembangan, Jakarta: Penerbit Erlangga, 1980
Richards, Graham, Psikologi, Yogyakarta: Pustaka Baca!, 2010